Wednesday, October 26, 2011

Kami dan perempuan-perempuan kami

                Untuk seorang anak SMA, sudah cukup wajar yang namanya pacaran, apalagi pada zaman ini. Begitu pula dengan kami. Tiap-tiap kami punya incarannya masing-masing. Ada yang sudah dekat, ada yang akhirnya menjauh, dan ada juga yang dari suka menjadi tidak suka lagi. Kalau saya sih, tidak terlalu ada yang saya incar di sekolah ini. Hanya saja, saya sedang dekat dengan adik kelas saya di SMP. Bayangkan saja, saking sedikitnya murid di angkatan kami, saya sampai berkenalan dengan adik kelas saya yang tingkatnya beda jauh.

                Keberagaman etnis dan budaya di sekolah kami juga tidak terlalu beragam. Sedikit sekali kalau dibandingkan dengan sekolah saya yang dulu. Di sekolah ini mayoritas berasal dari negara yang penduduknya paling banyak nomor satu di dunia. Walaupun tidak asli datang dari sana, mereka menurunkan kebudayaan dan sifat yang sama seperti penduduk asli di sana.

              Mayoritas tidak berarti terlalu banyak di sekolah ini, bagi saya. Karena, mau bagaimana pun, kalau merekas mayoritas tetapi pimpinan sekolah, yang merupakan ras minoritas di sekolah ini, tidak sama dengan mereka melainkan sama dengan kami, kami benar-benar merasa kalau kamilah mayoritas di sekolah ini. Dan pernyataan ini saya akui sangat arogan dan penuh dengan caci makian terhadap ‘mereka’ tersebut.

                Di sini saya tidak sedang ingin berbicara mengenai kerasnya persaingan ras di sekolah ini, padahal sekolah ini menentang akan adanya persaingan. Nanti akan saya ceritakan di lain waktu. Sekarang ini kembali ke masalah pacaran. Karena gerobak kami memang berisi hanya satu perempuan dan sisanya laki-laki, saya akan fokuskan kepada fenomena laki-lakinya terlebih dahulu. Sebenarnya sih karena penulisnya saya (laki-laki).

                Kita mulai dari Bernas, karena dialah yang menyukai satu-satunya perempuan di gerobak kami. Katanya sih, dia suka pada pandangan pertama. Kami terima-terima saja, toh tahu yang sebenarnya juga tidak berarti apa-apa. Jadi, sewaktu kelas sepuluh mulailah PDKT (pendekatan) dijalankan. Chatting, smsan, atau kadang menelepon semua terlaksana dengan baik. Yang tidak baik dari mereka berdua adalah tidak terjadinya komunikasi langsung jarak dekat. Kalaupun ada, masih bisa dihitung jari. Sampai hari ini masih sama dan belum ada perkembangan.

                Teman kami yang satu ini namanya Rani Simatupang. Kalau dilihat secara fisik, dia tidak terlalu terlihat seperti orang Batak, tidak seperti adik dan kakaknya. Lumayan cantik untuk ukuran orang Batak, di mana jarang sekali saya menemukan perempuan Batak cantik. Setidaknya Bernas lumayan pintar dalam memilih. Kerja yang bagus, kawan!

                 Kemudian kita beranjak ke orang yang paling tinggi dan paling berbulu di antara kami semua, Setya. Anak gadis yang dia sukai ini benar-benar unik. Dia kecil (kurus dan pendek) serta menggunakan kacamata dan behel. Dalam kategori saya, dia seperti orang yang penyakitan. Tetapi, anak yang tampak penyakitan itu otaknya brilian. Dia aktif dimana-mana. Tidak seperti Jeri, dia hanya aktif di kegiatan futsal saja.

                Setya dan si dia ini, yang tidak ingin saya sebutkan namanya, mempunyai hubungan yang rumit akibat kejadian konyol yang di perbuat Setya. Jadi begini, si dia ini pada dasarnya masih hijau, terlalu polos bagi saya (atau kami tepatnya). Dia masih belum tau pacaran itu seperti apa. Setya pun tau akan hal ini. Bodohnya, dia mengatakan hal yang tidak seharusnya di katakan pada saat masih tahap PDKT. Dia bahkan tidak mengatakannya secara langsung. Melalui sms dia mengatakan: Xxx, I love you. Mungkin pada saat membaca itu si dia langsung loncat di tempat saking kagetnya. Akhirnya, beberapa menit kemudian sms itu dibalas. Saya tidak akan ceritakan apa balasannya, yang pasti sms balasan yang diberikan oleh si dia ini membuat Setya tidak berkutik dan tidak punya pilihan untuk menjauh. Semenjak saat itu, tiap kali kami membicarakan tentang perempuan satu ini, dia slalu murung.

                Yang terakhir adalah si Arman. Kisah cintanya tidak berlangsung begitu lama. Saya baru tau dia menyukai perempuan satu ini pada saat kami sudah kelas sebelas. Ceritanya sangat-sangat singkat. Sampai-sampai saya tidak tau ingin memulainya dari mana. Saya pikir ini hanya cinta lokasi. Soalnya, Arman menyukai perempuan ini karena alasan yang tidak terlalu jelas sebenarnya. Ini semua terjadi karena mereka ada di kelas yang sama sewaktu kelas sepuluh dan juga kelas sebelas ini. Komunikasi yang cukup sering terjadi membuat ketertarikan si Arman kepada gadis satu ini.


                Curhatan demi curhatan mengalir terus kepada gadis satu ini, entah kenapa saya juga tidak yakin. Yang pasti, dari komunikasi yang dekat ini timbul rasa di hati Arman. Rasa itu kemudian berkembang makin lama makin besar.

                Tetapi, saya sedikit kecewa ketika dia akhirnya memutuskan untuk tidak akan menjadikan teman perempuannya dia ini sebagai pacar nantinya. Baginya, temannya ini juga masih polos. ‘Belum waktunya anak seperti dia pacaran. Pasti dia nggak akan mau sama gw.’ Begitu tuturnya pada saya.

                Kira-kira begitulah kisah cinta-cintaan gerobak SMA ini. Tidak terlalu repot untuk di ceritakan. Yang repot adalah mengenai saya sendiri sebenarnya. Panjangnya cerita mengenai mereka bertiga mungkin menjadi satu cerita saya. Banyak kisah-kisah mengenai kami dan perempuan-perempuan kami yang sebenarnya patut dibagikan, hanya saja belum pada momennya. ‘Lebih baik menunggu dan menahan rasa penasaran yang sekarang untuk bisa mendapatkan kesenangan yang lebih tinggi.’ – Epikurianisme.

Tuesday, October 25, 2011

Futsal kami dulu, sekarang, dan nanti

                Hampir setiap hari jumat kami mempunyai jadwal yang sangat padat. Bukannya sok dipadat-padatin, tetapi memang padat. Yang pasti, pada hari yang begitu spesial ini kami biasanya menyempatkan waktu untuk bermain futsal. Hobi kami yang satu ini hanya bisa tersalurkan satu kali seminggu, karena di sekolah tidak ada lapangan khusus futsal, atau tepatnya tidak ada lapangan sama sekali.
           Beruntungnya, ada lapangan futsal yang jaraknya sangat dekat dengan sekolah. Biayanya sih tidak terlalu mahal. Hanya saja, kalau tidak bayar lebih baik lagi. Maksudnya, saya ingin sekolah saya ini punya lapangan sendiri.
           Ketika pelajaran olahraga, kami selalu berangkat ke GOR di daerah Sunter menggunakan mobil sekolah dan beberapa mobil pribadi. Selain menyewa tempat itu, sekolah juga menyewa lapangan di sekolah lain yang berada di belakang sekolah kami. Bukannya melecehkan atau mengeluh, hanya saja saya sedikit kecewa terhadap kondisi ini.
                Kembali lagi ke permainan futsal. Sejak kelas sepuluh, tim inti kami hampir seluruhnya terdiri dari orang Batak, kecuali satu orang.
                Satu orang ini memiliki sejarah keluarga yang cukup unik. Namanya Bernas. Secara darah, dia sama sekali bukan orang Batak, tetapi dia diwariskan marga Batak oleh kakeknya. Jadi begini, kakek dan neneknya adalah orang yang berasal dari negara yang populasinya nomor satu di dunia. Kakek dan neneknya ini kemudian mempunyai anak-anak, salah satunya adalah Ayah dari Bernas. Beberapa waktu kemudian, kakek ini meninggal dunia. Setelah itu, neneknya menikah kembali dengan seorang laki-laki Batak yang bermarga Silitonga. Nah, sejak saat itu, ayahnya Bernas memiliki nama belakang Silitonga, begitu juga dengan Bernas.
                Lengkap sudah kami lima orang Batak dalam satu gerobak bermain futsal sampai botak :). Sampai hari ini, saking kompaknya kami, kami tidak tahu siapa kapten tim kami. Kalau saja ada pelatih, pasti kami sudah punya kapten. Oh, satu lagi kekurangan tim futsal kami, pelatih! Selama ini kami hanya bermain-main saja, seperti olahraga biasa, tanpa pelatih dan tanpa latihan yang berarti.
                Berkali-kali kami sudah menerima tamu di kandang kami untuk kami lawan. Sedihnya adalah dari sekian kali pertandingan, kami berlum pernah menang. Beberapa kali seri dan sisanya kalah. Kami berlima tidak bermain buruk sepanjang pertandingan-pertandingan itu, kami hanya tidak punya pola dan strategi permainan. Jadi, sejago apapun permainan kami, pasti kalah.
                Raungan kami kepada sekolah untuk meminta pelatih belum terdengar, atau mungkin sudah terdengar tetapi di acuhkan begitu saja. Hancurlah impian kami untuk bisa membawa nama sekolah ini lewat jalur olahraga futsal, cieilah. Tapi ada benarnya juga. Sekolah kami ini sekolah baru dengan kami sebagai angkatan kedua. Jadi, otomatis sekolah ini membutuhkan suatu ketenaran lewat berbagai macam lomba agar dipandang sekolah lain terlebih lagi pemerintah. Berhubung belum ada piala satu pun untuk di persembahkan kepada SMA kami ini, sebagai tim futsal kami memiliki rencana untuk memberikan satu.
                Tetapi, rencana kami sama sekali tidak didukung oleh keadaan. Ibu kepala sekolah yang tidak mendukung, nilai kami yang tidak kunjung membaik, serta tidak adanya pelatih. Meskipun begitu, kalau Tuhan memang berkehendak untuk kami membawa nama baik sekolah kami di bidang futsal, pasti kami tunggu, kalau tidak mau bagaimana lagi?
                Rencana ini makin lama makin memburuk. Ketika kami naik ke jenjang selanjutnya, kelas sebelas, tim futsal kami kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh bagi tim. Janes dan Joni. Kami benar-benar terpukul atas hengkangnya mereka dari sekolah kami dan pindah ke sekolah lain untuk membela tim futsal sekolah lain. Perpindahan mereka sudah tidak bisa dihindari lagi. Tekad mereka sudah bulat dan matang.
                Perginya mereka mereka membuat kinerja tim makin buruk. Masalahnya, yang pergi meninggalkan kami adalah top scorer dan bek paling baik. Dan sekarang kami harus menggunakan pemain lapis kedua yang kualitasnya tidak sebagus mereka. Dengan pemain seperti mereka saja kita belum pernah menang, apalagi mereka pergi?
                Sampai sekarang kami terus berlatih tanpa kedua jagoan kami itu. Akhirnya, tim futsal kami sekarang tidak seluruhnya orang Batak. Kami tetap berlatih seperti biasa dan berusaha untuk bisa membuat permainan kami seperti yang dulu lagi. Ini tidak semudah kedengarannya. Sangat susah untuk kembali ke performa yang lama.
                Kehancuran tim futsal kami makin lama makin terlihat jelas. Kabar terakhir yang sampai kepada saya adalah sebuah sms dari Setya. Isi sms ini benar-benar membuat saya penasaran akan apa yang terjadi. Apa mungkin dia sedang galau sehingga memberikan sms ini tanpa maksud sama sekali atau karena dia yakin akan hal ini. Sms itu berbunyi: ‘Kayaknya kita enggak akan ikut cup apapun walaupun Ibu Kepala Sekolah mengijinkan kita untuk ikut.’ Saya terdiam dan tesenyum sendiri.

Monday, October 24, 2011

Macetnya.. Oh macetnya..

              Kota Jakarta memang sangat terkenal dengan betapa panasnya dan macetnya jalanan. Hampir di semua sektor, pasti macet. Parahnya, jalan gang pun bisa macet.


            Sebagai seorang pelajar yang bersekolah di tempat yang sangat jauh, saya benar-benar memikirkan secara matang bagaimana perjalanan pulang dan pergi saya yang paling baik. Karena, kalau tidak, saya bisa terjebak macet dan nantinya berdampak banyak.


Setelah saya timbang-timbang, saya pikir yang paling baik adalah naik kereta. Karena, kereta itu tidak berada di jalan raya yang pasti macet pada jam-jam pulang-pergi saya. Selain itu, stasiun kereta jaraknya lumayan dekat dengan rumah dan juga sekolah.


Walaupun begitu saudara-saudari sekalian, begitu dashyatnya kata ‘macet’ di kota Jakarta sampai-sampai kereta pun bisa mengalami kemacetan. Bukan macet yang bisa dibayangkan seperti antrean mobil dan motor di jalan raya, tetapi macet karena gangguan sinyal. Kalau tidak ada sinyal dari pusatnya, kereta tidak akan jalan dan harus menunggu aman. Seperti inilah bagaimana kemacetan kereta terjadi. Kejadian kemacetan ini ternyata bisa lebih parah lagi. Seperti yang baru saja saya alami.


Saya dan teman saya Arman, yang memang biasa pulang-pergi naik kereta, di antar oleh Setya ke stasiun Juanda untuk naik kereta jam 16.30. Ketika saya ingin membeli tiket kereta, kabar buruk itu pun tersampaikan oleh mbak petugas karcis. ‘Kereta ke Bekasi ada gangguan, tidak bisa berangkat, ada gangguan listrik di Cipinang.’ Saya termenung sejenak dan mengangguk-ngangguk saja. Tanpa membeli tiket, saya pun tetap masuk ke stasiun bersama Arman.


Di stasiun kami berpikir-pikir agak lama, bagaimana alternatif lainnya untuk kami bisa pulang, Arman ke Bekasi dan saya ke Pondok Kopi. Berbagai gagasan kami lontarkan, tetapi tidak satu pun yang bisa di jalankan bersama. Akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta ke stasiun Jakarta Kota terlebih dahulu dan kembali berpikir di sana.
  
       Sesampainya di sana kami berdiri sejenak, melihat kiri-kanan, berpikir. Kami kemudian berjalan-jalan dan menemukan papan jadwal kereta. Arman yang lebih expert dibandingkan saya langsung menyadari sesuatu.


         ‘Do, kita naik kereta yang ke Purwakarta aja. Jam 15.43. Berentinya di Jatner (Jatinegara) aja lo soalnya ga berenti di tiap stasiun, gw nanti turun di Bekasi.’


               Saya masih berdebat dulu soal ini. Saya tidak mau kalau nanti keretanya penuh sesak, karena ini kereta ekonomi dan pasti juga banyak yang berpikir sama seperti kita ini. Setelah didesak akhirnya saya, yang juga tidak punya pilihan lain, membeli tiket ekonomi yang murah itu.


             17.14. Saya dan Arman sudah duduk di dalam kereta. Kereta akan berangkat dalam 20 menit lagi. Arman langsung mengeluarkan koran untuk mengipas-ngipas, panas sekali memang. Sambil dia mengipas, saya ambil lembaran koran yang lainnya dan membacanya. Kami berbincang-bincang seputar headline di koran tersebut. Tanpa terasa, sambil kami berbincang kereta makin lama makin terisi penuh.


            Berdasarkan pembicaraan dari orang-orang sekitar, kebanyakan penumpang akan turun di stasiun Bekasi. Ternyata benar, banyak penumpang adalah korban dari gangguan listrik di jalur Kota-Bekasi.
  
      Omong-omong, kereta ini bukan kereta listrik, melainkan kereta yang ditarik oleh lokomotif, maka itu bisa jalan dari stasiun Kota sampai Purwakarta lewat Bekasi. Akselerasi kereta ini lamban sekali kalau dibandingkan dengan kereta listrik.


       Berangkat sudah kereta ini tepat pada pukul tiga lewat tiga puluh empat menit. Kereta terisi penuh dan sangat panas. Jendela yang terbuka terlalu kecil, walaupun cukup untuk kami bernapas. Untuk melepas kepenatan kami bercerita-cerita sepanjang perjalanan. Yah, cerita-cerita seputar dunia anak SMA.
  
     Setelah kereta berjalan selama 20 menit, kami hanya melewati empat stasiun saja. Lamban sekali! Kalau kami naik kereta listrik, dalam duapuluh menit saya sudah sampai di stasiun saya dan sepuluh menit kemudian Arman sampai di Bekasi. Sedangkan ini? Sangat, amat lamban parah! Tetapi, Arman menyadari satu hal. Kereta ini berhenti di setiap stasiun rupanya. Jadi, saya merubah rencana saya untuk turun di Jatinegara dan turun di tempat saya biasanya.
             
   Hari pun berganti menjadi malam. Di luar sudah gelap dan hanya terang rembulan sajalah yang menyinari kami di dalam kereta. Bayangkan saja, kereta yang penuh sesak tanpa lampu. Parahnya lagi adalah ketika saya tahu kalau ada yang sedang main gaple di tempat duduknya. Mereka menggunakan senter supaya kartunya terlihat. Kejadian seperti ini jarang sekali saya temui.


             Sekarang kereta sudah sampai di stasiun Klender Lama. Dua stasiun setelah ini adalah stasiun saya, jadi saya langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan kedepan. Kalau saya tidak jalan ke pintu sekarang, saya tidak bisa keluar nantinya. Sekali lagi saya katakan, kondisi kereta ini penuh sesak bukan main.

           Setelah berjalan dan mengatakan belasan kali kata ‘permisi’, saya sampai di dekat pintu. Baru dekat pintu, belum di pintu. Di daerah ini, benar-benar penuh orang. Untuk maju terus ke pintu, saya harus mendorong belasan bapak-bapak, tidak ada perempuan di sekitar pandangan saya.

Ketika sampai di stasiun saya, benar saja, saya mendorong bapak-bapak yang ada di depan saya untuk berusaha keluar. Saya berjuang mati-matian agar bisa keluar. Saya sampai berteriak-teriak ‘Woy! Mau keluar ini pak! Minggir dulu!’ Masih sambil dorong-dorongan saya terus berteriak-teriak. Tapi, semua itu sia-sia. Kereta akhirnya berjalan dan saya masih terdesak di tengah-tengah orang banyak. Dengan terpaksa saya harus turun di stasiun selanjutnya.

Pemberhentian selanjutnya juga tidak semudah itu untuk turun, walaupun yang turun memang ramai. Saya kembali berpartisipasi dalam kegiatan dorong-mendorong. Kali ini, saya berhasil keluar. Saya langsung reflek merogoh kantung celana saya, aman! Tidak ada satu pun barang yang hilang, terjatuh, atau kecopetan. Inilah pengalaman naik kereta sekali dalam setahun yang bisa saya rasakan.

Saya langsung berjalan keluar dan naik ojek. Sesampainya di rumah saya menceritakan semuanya itu kepada Ibu tercinta yang sedang duduk dan membuka komputer. Sambil mendengarkan, saya kira Ibu saya itu berpikir antara anaknya terlalu berani, sudah gila, atau terlalu bodoh.