Monday, October 24, 2011

Macetnya.. Oh macetnya..

              Kota Jakarta memang sangat terkenal dengan betapa panasnya dan macetnya jalanan. Hampir di semua sektor, pasti macet. Parahnya, jalan gang pun bisa macet.


            Sebagai seorang pelajar yang bersekolah di tempat yang sangat jauh, saya benar-benar memikirkan secara matang bagaimana perjalanan pulang dan pergi saya yang paling baik. Karena, kalau tidak, saya bisa terjebak macet dan nantinya berdampak banyak.


Setelah saya timbang-timbang, saya pikir yang paling baik adalah naik kereta. Karena, kereta itu tidak berada di jalan raya yang pasti macet pada jam-jam pulang-pergi saya. Selain itu, stasiun kereta jaraknya lumayan dekat dengan rumah dan juga sekolah.


Walaupun begitu saudara-saudari sekalian, begitu dashyatnya kata ‘macet’ di kota Jakarta sampai-sampai kereta pun bisa mengalami kemacetan. Bukan macet yang bisa dibayangkan seperti antrean mobil dan motor di jalan raya, tetapi macet karena gangguan sinyal. Kalau tidak ada sinyal dari pusatnya, kereta tidak akan jalan dan harus menunggu aman. Seperti inilah bagaimana kemacetan kereta terjadi. Kejadian kemacetan ini ternyata bisa lebih parah lagi. Seperti yang baru saja saya alami.


Saya dan teman saya Arman, yang memang biasa pulang-pergi naik kereta, di antar oleh Setya ke stasiun Juanda untuk naik kereta jam 16.30. Ketika saya ingin membeli tiket kereta, kabar buruk itu pun tersampaikan oleh mbak petugas karcis. ‘Kereta ke Bekasi ada gangguan, tidak bisa berangkat, ada gangguan listrik di Cipinang.’ Saya termenung sejenak dan mengangguk-ngangguk saja. Tanpa membeli tiket, saya pun tetap masuk ke stasiun bersama Arman.


Di stasiun kami berpikir-pikir agak lama, bagaimana alternatif lainnya untuk kami bisa pulang, Arman ke Bekasi dan saya ke Pondok Kopi. Berbagai gagasan kami lontarkan, tetapi tidak satu pun yang bisa di jalankan bersama. Akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta ke stasiun Jakarta Kota terlebih dahulu dan kembali berpikir di sana.
  
       Sesampainya di sana kami berdiri sejenak, melihat kiri-kanan, berpikir. Kami kemudian berjalan-jalan dan menemukan papan jadwal kereta. Arman yang lebih expert dibandingkan saya langsung menyadari sesuatu.


         ‘Do, kita naik kereta yang ke Purwakarta aja. Jam 15.43. Berentinya di Jatner (Jatinegara) aja lo soalnya ga berenti di tiap stasiun, gw nanti turun di Bekasi.’


               Saya masih berdebat dulu soal ini. Saya tidak mau kalau nanti keretanya penuh sesak, karena ini kereta ekonomi dan pasti juga banyak yang berpikir sama seperti kita ini. Setelah didesak akhirnya saya, yang juga tidak punya pilihan lain, membeli tiket ekonomi yang murah itu.


             17.14. Saya dan Arman sudah duduk di dalam kereta. Kereta akan berangkat dalam 20 menit lagi. Arman langsung mengeluarkan koran untuk mengipas-ngipas, panas sekali memang. Sambil dia mengipas, saya ambil lembaran koran yang lainnya dan membacanya. Kami berbincang-bincang seputar headline di koran tersebut. Tanpa terasa, sambil kami berbincang kereta makin lama makin terisi penuh.


            Berdasarkan pembicaraan dari orang-orang sekitar, kebanyakan penumpang akan turun di stasiun Bekasi. Ternyata benar, banyak penumpang adalah korban dari gangguan listrik di jalur Kota-Bekasi.
  
      Omong-omong, kereta ini bukan kereta listrik, melainkan kereta yang ditarik oleh lokomotif, maka itu bisa jalan dari stasiun Kota sampai Purwakarta lewat Bekasi. Akselerasi kereta ini lamban sekali kalau dibandingkan dengan kereta listrik.


       Berangkat sudah kereta ini tepat pada pukul tiga lewat tiga puluh empat menit. Kereta terisi penuh dan sangat panas. Jendela yang terbuka terlalu kecil, walaupun cukup untuk kami bernapas. Untuk melepas kepenatan kami bercerita-cerita sepanjang perjalanan. Yah, cerita-cerita seputar dunia anak SMA.
  
     Setelah kereta berjalan selama 20 menit, kami hanya melewati empat stasiun saja. Lamban sekali! Kalau kami naik kereta listrik, dalam duapuluh menit saya sudah sampai di stasiun saya dan sepuluh menit kemudian Arman sampai di Bekasi. Sedangkan ini? Sangat, amat lamban parah! Tetapi, Arman menyadari satu hal. Kereta ini berhenti di setiap stasiun rupanya. Jadi, saya merubah rencana saya untuk turun di Jatinegara dan turun di tempat saya biasanya.
             
   Hari pun berganti menjadi malam. Di luar sudah gelap dan hanya terang rembulan sajalah yang menyinari kami di dalam kereta. Bayangkan saja, kereta yang penuh sesak tanpa lampu. Parahnya lagi adalah ketika saya tahu kalau ada yang sedang main gaple di tempat duduknya. Mereka menggunakan senter supaya kartunya terlihat. Kejadian seperti ini jarang sekali saya temui.


             Sekarang kereta sudah sampai di stasiun Klender Lama. Dua stasiun setelah ini adalah stasiun saya, jadi saya langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan kedepan. Kalau saya tidak jalan ke pintu sekarang, saya tidak bisa keluar nantinya. Sekali lagi saya katakan, kondisi kereta ini penuh sesak bukan main.

           Setelah berjalan dan mengatakan belasan kali kata ‘permisi’, saya sampai di dekat pintu. Baru dekat pintu, belum di pintu. Di daerah ini, benar-benar penuh orang. Untuk maju terus ke pintu, saya harus mendorong belasan bapak-bapak, tidak ada perempuan di sekitar pandangan saya.

Ketika sampai di stasiun saya, benar saja, saya mendorong bapak-bapak yang ada di depan saya untuk berusaha keluar. Saya berjuang mati-matian agar bisa keluar. Saya sampai berteriak-teriak ‘Woy! Mau keluar ini pak! Minggir dulu!’ Masih sambil dorong-dorongan saya terus berteriak-teriak. Tapi, semua itu sia-sia. Kereta akhirnya berjalan dan saya masih terdesak di tengah-tengah orang banyak. Dengan terpaksa saya harus turun di stasiun selanjutnya.

Pemberhentian selanjutnya juga tidak semudah itu untuk turun, walaupun yang turun memang ramai. Saya kembali berpartisipasi dalam kegiatan dorong-mendorong. Kali ini, saya berhasil keluar. Saya langsung reflek merogoh kantung celana saya, aman! Tidak ada satu pun barang yang hilang, terjatuh, atau kecopetan. Inilah pengalaman naik kereta sekali dalam setahun yang bisa saya rasakan.

Saya langsung berjalan keluar dan naik ojek. Sesampainya di rumah saya menceritakan semuanya itu kepada Ibu tercinta yang sedang duduk dan membuka komputer. Sambil mendengarkan, saya kira Ibu saya itu berpikir antara anaknya terlalu berani, sudah gila, atau terlalu bodoh.  

No comments:

Post a Comment