Tuesday, October 25, 2011

Futsal kami dulu, sekarang, dan nanti

                Hampir setiap hari jumat kami mempunyai jadwal yang sangat padat. Bukannya sok dipadat-padatin, tetapi memang padat. Yang pasti, pada hari yang begitu spesial ini kami biasanya menyempatkan waktu untuk bermain futsal. Hobi kami yang satu ini hanya bisa tersalurkan satu kali seminggu, karena di sekolah tidak ada lapangan khusus futsal, atau tepatnya tidak ada lapangan sama sekali.
           Beruntungnya, ada lapangan futsal yang jaraknya sangat dekat dengan sekolah. Biayanya sih tidak terlalu mahal. Hanya saja, kalau tidak bayar lebih baik lagi. Maksudnya, saya ingin sekolah saya ini punya lapangan sendiri.
           Ketika pelajaran olahraga, kami selalu berangkat ke GOR di daerah Sunter menggunakan mobil sekolah dan beberapa mobil pribadi. Selain menyewa tempat itu, sekolah juga menyewa lapangan di sekolah lain yang berada di belakang sekolah kami. Bukannya melecehkan atau mengeluh, hanya saja saya sedikit kecewa terhadap kondisi ini.
                Kembali lagi ke permainan futsal. Sejak kelas sepuluh, tim inti kami hampir seluruhnya terdiri dari orang Batak, kecuali satu orang.
                Satu orang ini memiliki sejarah keluarga yang cukup unik. Namanya Bernas. Secara darah, dia sama sekali bukan orang Batak, tetapi dia diwariskan marga Batak oleh kakeknya. Jadi begini, kakek dan neneknya adalah orang yang berasal dari negara yang populasinya nomor satu di dunia. Kakek dan neneknya ini kemudian mempunyai anak-anak, salah satunya adalah Ayah dari Bernas. Beberapa waktu kemudian, kakek ini meninggal dunia. Setelah itu, neneknya menikah kembali dengan seorang laki-laki Batak yang bermarga Silitonga. Nah, sejak saat itu, ayahnya Bernas memiliki nama belakang Silitonga, begitu juga dengan Bernas.
                Lengkap sudah kami lima orang Batak dalam satu gerobak bermain futsal sampai botak :). Sampai hari ini, saking kompaknya kami, kami tidak tahu siapa kapten tim kami. Kalau saja ada pelatih, pasti kami sudah punya kapten. Oh, satu lagi kekurangan tim futsal kami, pelatih! Selama ini kami hanya bermain-main saja, seperti olahraga biasa, tanpa pelatih dan tanpa latihan yang berarti.
                Berkali-kali kami sudah menerima tamu di kandang kami untuk kami lawan. Sedihnya adalah dari sekian kali pertandingan, kami berlum pernah menang. Beberapa kali seri dan sisanya kalah. Kami berlima tidak bermain buruk sepanjang pertandingan-pertandingan itu, kami hanya tidak punya pola dan strategi permainan. Jadi, sejago apapun permainan kami, pasti kalah.
                Raungan kami kepada sekolah untuk meminta pelatih belum terdengar, atau mungkin sudah terdengar tetapi di acuhkan begitu saja. Hancurlah impian kami untuk bisa membawa nama sekolah ini lewat jalur olahraga futsal, cieilah. Tapi ada benarnya juga. Sekolah kami ini sekolah baru dengan kami sebagai angkatan kedua. Jadi, otomatis sekolah ini membutuhkan suatu ketenaran lewat berbagai macam lomba agar dipandang sekolah lain terlebih lagi pemerintah. Berhubung belum ada piala satu pun untuk di persembahkan kepada SMA kami ini, sebagai tim futsal kami memiliki rencana untuk memberikan satu.
                Tetapi, rencana kami sama sekali tidak didukung oleh keadaan. Ibu kepala sekolah yang tidak mendukung, nilai kami yang tidak kunjung membaik, serta tidak adanya pelatih. Meskipun begitu, kalau Tuhan memang berkehendak untuk kami membawa nama baik sekolah kami di bidang futsal, pasti kami tunggu, kalau tidak mau bagaimana lagi?
                Rencana ini makin lama makin memburuk. Ketika kami naik ke jenjang selanjutnya, kelas sebelas, tim futsal kami kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh bagi tim. Janes dan Joni. Kami benar-benar terpukul atas hengkangnya mereka dari sekolah kami dan pindah ke sekolah lain untuk membela tim futsal sekolah lain. Perpindahan mereka sudah tidak bisa dihindari lagi. Tekad mereka sudah bulat dan matang.
                Perginya mereka mereka membuat kinerja tim makin buruk. Masalahnya, yang pergi meninggalkan kami adalah top scorer dan bek paling baik. Dan sekarang kami harus menggunakan pemain lapis kedua yang kualitasnya tidak sebagus mereka. Dengan pemain seperti mereka saja kita belum pernah menang, apalagi mereka pergi?
                Sampai sekarang kami terus berlatih tanpa kedua jagoan kami itu. Akhirnya, tim futsal kami sekarang tidak seluruhnya orang Batak. Kami tetap berlatih seperti biasa dan berusaha untuk bisa membuat permainan kami seperti yang dulu lagi. Ini tidak semudah kedengarannya. Sangat susah untuk kembali ke performa yang lama.
                Kehancuran tim futsal kami makin lama makin terlihat jelas. Kabar terakhir yang sampai kepada saya adalah sebuah sms dari Setya. Isi sms ini benar-benar membuat saya penasaran akan apa yang terjadi. Apa mungkin dia sedang galau sehingga memberikan sms ini tanpa maksud sama sekali atau karena dia yakin akan hal ini. Sms itu berbunyi: ‘Kayaknya kita enggak akan ikut cup apapun walaupun Ibu Kepala Sekolah mengijinkan kita untuk ikut.’ Saya terdiam dan tesenyum sendiri.

No comments:

Post a Comment